Layvin Kurzawa: Dari Calon Bintang PSG ke Misteri Sepak Bola Modern

Kalau lo ngikutin Ligue 1 dari era 2010-an, nama Layvin Kurzawa pasti pernah muncul di radar lo. Bek kiri asal Prancis ini sempat digadang-gadang jadi penerus Patrice Evra, punya kecepatan, skill nyerang, dan flair yang bikin highlight YouTube-nya ngeri.

Tapi sekarang? Nama dia kayak hilang dari peredaran. Jarang main, jarang masuk berita, dan bahkan di PSG—klub yang dulu rela tebus dia dari Monaco—dia kayak cuma jadi penonton tetap. Pertanyaannya: apa yang sebenarnya terjadi sama Layvin Kurzawa? Gimana bisa pemain bertalenta kayak dia hilang begitu aja dari peta sepak bola top?

Awal Karier: Muncul dari Monaco dengan Gaya Tajam

Kurzawa lahir di Fréjus, Prancis, tahun 1992. Dia gabung akademi AS Monaco, dan mulai dapat panggung utama saat klub itu lagi naik daun bareng talenta muda lain kayak James Rodríguez, Martial, dan Fabinho. Kurzawa langsung mencuri perhatian karena gayanya beda dari bek kiri biasa. Dia agresif, stylish, dan jago overlap.

Waktu Monaco promosi ke Ligue 1 dan langsung bersaing di papan atas, Kurzawa jadi bagian penting dari sistem mereka. Bahkan di usia muda, dia udah kayak winger terselubung—suka naik bantu serangan, rajin crossing, dan punya kontrol bola yang rapi.

Statistiknya oke, performanya stabil, dan fans mulai mikir: “Ini anak bisa jadi starter timnas Prancis sebentar lagi.”

Dan benar aja—PSG datang dan langsung tebus dia tahun 2015 dengan harga sekitar €23 juta. Harapannya? Biar bisa gantiin Maxwell dan jadi bek kiri masa depan klub.

PSG Era Awal: Gaspol dan Produktif

Musim-musim awal bareng PSG, Kurzawa dapet banyak menit main. Dia adaptasi cukup cepat, dan langsung kasih kontribusi penting. Bahkan dia sempat jadi bek pertama dalam sejarah Liga Champions yang nyetak hattrick—iya, lo gak salah baca, HATTRICK sebagai bek kiri, lawan Anderlecht tahun 2017.

Gila? Iya. Masuk highlight? Banget.

Dia juga rajin bikin gol di Ligue 1, dan gaya mainnya cocok banget sama PSG yang doyan dominasi. Di belakang ada Thiago Silva dan Marquinhos, di depan ada Cavani dan Neymar—Kurzawa tinggal fokus naik-turun dan kirim bola ke kotak penalti.

Tapi dari situ juga mulai kelihatan celahnya…

Masalah Dimulai: Cedera, Inkonsistensi, dan Persaingan Ketat

Lambat laun, Kurzawa mulai terganggu masalah klasik pemain muda berbakat: cedera dan inkonsistensi. Dia mulai absen di beberapa laga penting, performanya naik turun, dan fans mulai ngerasa dia gak se-“klik” itu sama sistem PSG.

Belum lagi, PSG juga gak sabar. Mereka beli Juan Bernat, lalu sempat pake Abdou Diallo, Nuno Mendes, dan bahkan kadang narik bek tengah buat main di kiri. Hasilnya? Kurzawa pelan-pelan tergusur.

Masalah lainnya: dia kadang kelihatan agak… santai. Bukan soal malas, tapi soal kurangnya urgency di lapangan. Banyak momen dia telat bantu bertahan, atau nggak nutup ruang dengan cepat. Fans dan media mulai ngerasa dia lebih fokus ke gaya hidup ketimbang progres karier.

Gaji Besar, Tapi Jarang Main

Satu hal yang bikin status Kurzawa makin “aneh” adalah kontraknya. Tahun 2020, PSG kasih dia kontrak baru sampai 2024, dengan gaji tinggi. Saat itu banyak fans heran—“Ngapain diperpanjang kalau nggak kepake?”

Dan benar aja, setelah perpanjangan kontrak, Kurzawa hampir gak pernah main. Dia sempat masuk skuad, duduk di bench, tapi jarang banget diturunin. Bahkan di musim 2021/22, dia main cuma sekali. Lo gak salah baca: satu kali, sepanjang musim penuh.

Fans mulai nyebut dia sebagai “ghost player”—ada di tim, dapet gaji gede, tapi gak kelihatan di lapangan. Dan anehnya? PSG kayak gak tau harus ngapain juga.

Dipinjamkan ke Fulham: Harapan Baru, Tapi Lagi-Lagi Gagal

Musim 2022/23, PSG akhirnya pinjemin Kurzawa ke Fulham di Premier League. Banyak yang berharap dia bisa dapet jam main, balikin performa, dan nunjukin ke dunia kalau dia masih punya kualitas.

Tapi hasilnya… ya begitu aja.

Di Fulham, dia gak langsung jadi starter. Beberapa kali main, tapi cedera datang lagi. Ritme permainannya kacau, dan dia gagal rebut tempat utama. Bahkan fans Fulham aja banyak yang lupa kalau dia bagian dari skuad.

Satu musim berlalu, dan kariernya makin buram. Bukan karena dia jelek, tapi karena dia gak dikasih ritme dan kepercayaan penuh.

Timnas Prancis: Pernah Bersinar, Tapi Gak Konsisten

Kurzawa juga sempat punya momen bareng Timnas Prancis. Dia debut tahun 2014, sempat bikin gol, dan beberapa kali jadi pelapis utama di sisi kiri. Tapi dengan performa naik turun di klub, dan saingan berat di timnas (kayak Digne, Mendy, hingga Hernandez), dia akhirnya gak pernah benar-benar jadi pilihan utama.

Fakta: dia gak pernah masuk skuad final Piala Dunia atau Euro. Sayang banget, karena potensinya jelas.

Gaya Main: Stylish, Tapi Kurang Bertahan

Kurzawa selalu dikenal sebagai fullback modern: rajin naik, crossing oke, kombinasi cepat, dan bahkan finishing bagus buat ukuran bek. Tapi kelemahannya konsisten: defensif-nya kadang zonk. Dia suka overcommit saat nyerang, tapi telat turun waktu diserang balik.

Dia juga kadang terlalu percaya diri—main terlalu “cantik” padahal situasinya butuh kesederhanaan. Kombinasi ini bikin dia sering dimakan lawan yang cepat di sisi kanan.

Sekarang: Apa Langkah Berikutnya?

Tahun 2025, kontraknya dengan PSG udah hampir selesai. Pertanyaannya: apakah dia bakal pindah dan nyari kebangkitan di tempat baru? Atau jadi satu dari banyak pemain yang “berlalu” di bawah sinar lampu klub besar?

Satu hal yang pasti: umur dia masih masuk 30-an awal. Artinya masih ada waktu. Tapi untuk bangkit, dia butuh satu klub yang berani kasih kepercayaan penuh—dan dia harus jawab itu dengan totalitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *