Diego Laxalt: Si Rambut Gimbal yang Gak Pernah Capek dan Selalu Siap Tempur

Kalau lo pernah nonton Uruguay di Piala Dunia 2018 atau Serie A di era 2015–2020, lo pasti kenal sosok dengan rambut gimbal khas, kaki kiri aktif, dan gaya main yang kayak gak kenal lelah. Yup, itu Diego Laxalt.

Dia bukan pemain yang viral karena gol spektakuler atau selebrasi lebay. Tapi kalau lo butuh pemain yang siap ngebut 90 menit, covering di sisi kiri, dan ngejar bola sampe ujung lapangan kayak anjing herder nyari frisbee — Laxalt jawabannya.

Sayangnya, kariernya gak selalu stabil. Sempat naik daun bareng Genoa dan Timnas Uruguay, tapi setelah gabung AC Milan… ya, ceritanya agak beda. Tapi kita bahas semuanya di sini.


Awal Karier: Produk Asli Uruguay yang Langsung Dilirik Eropa

Diego Sebastián Laxalt Suárez lahir di Montevideo, Uruguay, pada 7 Februari 1993. Karier profesionalnya dimulai di Defensor Sporting, salah satu akademi terbaik di Amerika Selatan yang juga melahirkan banyak pemain top Uruguay.

Di usia muda, Laxalt udah dikenal punya ciri khas:

  • Kaki kiri dominan
  • Mobilitas tinggi
  • Bisa main sebagai winger kiri atau gelandang tengah
  • Tekel dan covering area yang luas banget

Performanya bikin klub-klub Eropa mulai melirik. Dan di 2013, dia dapet tawaran dari Inter Milan.


Inter Milan: Datang Cepat, Dilepas Cepat

Meski transfer ke Inter Milan sempat bikin hype, kenyataannya dia belum siap. Inter waktu itu lagi penuh pemain bintang dan gak punya slot untuk eksperimen. Akhirnya, dia langsung dipinjamkan ke:

  • Bologna
  • Empoli
  • Genoa

Dan dari situlah kariernya mulai naik.


Genoa: Titik Balik Karier

Di Genoa, Laxalt akhirnya dapat menit bermain yang konsisten. Dia jadi starter reguler, dan pelatih mulai eksplorasi dia sebagai wing-back kiri di skema 3-5-2. Posisi ini cocok banget buat Laxalt:

  • Dia bisa eksploitasi sisi kiri
  • Gak perlu terlalu sering main build-up
  • Fokus bantu serangan dan balik bertahan secepat kilat

Beberapa musim di Genoa, dia catat:

  • 100+ penampilan
  • 7+ gol
  • Sejumlah assist dari overlap dan cut-back
  • Dikenal sebagai salah satu wing-back kiri terbaik di Serie A non-top 4

Gaya mainnya gak glamor, tapi efektif banget. Lo kasih dia ruang, dia pasti ngacir.


AC Milan: Ekspektasi Tinggi, Realita Beda

Tahun 2018, Laxalt gabung ke AC Milan. Transfer ini cukup besar, dan fans Milan waktu itu berharap dia bisa jadi solusi bek kiri atau jadi pelapis solid buat Ricardo Rodríguez.

Tapi ternyata…

  • Dia kesulitan adaptasi dengan taktik Milan yang lebih “ball-possession”
  • Kurang nyaman main di skema empat bek
  • Terlihat grogi pas bangun serangan dari belakang

Padahal dari sisi stamina dan etos kerja, dia gak kurang apa-apa. Tapi Milan butuh lebih dari sekadar kerja keras — mereka butuh pengambilan keputusan cepat dan akurat, sesuatu yang kadang gak jadi kekuatan utama Laxalt.

Dia akhirnya:

  • Jarang starter
  • Lebih sering jadi cadangan
  • Dan sempat dipinjamkan ke Torino dan Celtic

Celtic (Skotlandia): Jalan Pintas Cari Menit Main

Musim 2020–21, Laxalt dipinjamkan ke Celtic FC. Di Liga Skotlandia, dia kembali dapat kesempatan main reguler.

Di sini, dia:

  • Main sebagai left-back dan wing-back
  • Cetak gol ke gawang Aberdeen
  • Dapat pujian karena semangat dan stamina

Tapi tetap aja, permainannya dinilai terlalu one-dimensional. Dia bisa lari dan ngebut, tapi kurang tajam di final third. Fans Celtic respect karena semangatnya, tapi performanya gak cukup buat dipermanenkan.


Dinamo Moscow: Fase Baru di Rusia

Setelah kontraknya berakhir di Milan, Laxalt akhirnya gabung Dinamo Moscow di Liga Rusia. Ini bisa dibilang karier fase 2.

Di sini, dia lebih bebas:

  • Jadi starter reguler
  • Main di berbagai posisi kiri
  • Jadi pemain asing yang cukup dihargai karena profesional dan etos kerjanya

Meskipun Liga Rusia gak setenar Serie A, buat Laxalt ini adalah tempat buat balik dapetin ritme permainan dan kepercayaan diri.


Timnas Uruguay: Bukan Bintang, Tapi Selalu Siap Tempur

Laxalt debut buat Timnas Uruguay di 2016. Tapi puncaknya terjadi di Piala Dunia 2018, waktu dia jadi starter di beberapa pertandingan penting.

Main sebagai bek kiri dalam skema 4-4-2 atau 4-3-3, dia:

  • Ngebantu Uruguay tahan Portugal di 16 besar
  • Jadi tandem bagus buat lini tengah yang diisi Torreira, Vecino, dan Bentancur
  • Ngalah dari Prancis di perempat final, tapi tetap tampil solid

Total caps-nya mungkin gak banyak (sekitar 20-an), tapi Laxalt selalu siap saat dipanggil. Dia mungkin gak sekelas Godín atau Cavani, tapi dia bagian dari “angkatan pekerja keras” Uruguay yang selalu ngasih 100% buat lambang di dada.


Gaya Main: Speed Merchant Serba Bisa

Kalo lo liat Diego Laxalt, lo bakal notice hal-hal ini:

  • Dia lebih mirip winger daripada full-back klasik
  • Suka ngebut sampai ke byline
  • Crossing-nya lumayan, tapi lebih jago cut-back dan tarik mundur bola
  • Kerja keras tanpa lelah, termasuk recovery run
  • Tapi… pengambilan keputusan dan positioning masih jadi catatan

Dia bisa main sebagai:

  • Full-back
  • Wing-back
  • Winger kiri
  • Bahkan kadang sebagai gelandang kiri dalam formasi 4-4-2

Intinya, dia serbaguna.


Penutup: Laxalt Bukan Bintang, Tapi Pekerja Tanpa Drama

Diego Laxalt adalah tipe pemain yang gak akan lo ingat karena gol-gol spektakuler. Tapi dia adalah pemain yang bisa nutup celah kiri lapangan sepanjang pertandingan. Lo bisa ngandelin dia buat kerja kotor, bantu serangan, dan disiplin taktik.

Dia bukan nama yang selalu masuk starting XI top Eropa, tapi buat pelatih yang butuh kedalaman skuad dan pemain serba bisa, Laxalt adalah mimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *